Goresan Kerut Mereka


Sabtu pagi jam tujuh, setelah satu minggu, aku mengambil buku sketsa dari laci mejaku, ah ternyata berdebu.

Kuusapkan cover buku sketsaku dengan tissue, satu persatu aku buka lembarannya, kuperhatikan sketsa sahabat-sahabatku. Goresan-goresan pensil yang telah aku berikan membuat mereka terlihat lebih ekspresif, penuh ambisi, dan menyenangkan. Ada perasaan bahagia ketika aku bisa membuat karya-karya ini. Tanpa ada pinta dari mereka, kubuatkan sebuah sketsa sederhana. Kemudian dengan bangga aku menunjukkannya kepada mereka, berharap keluar dari mulut mereka sebuah kata “ah, itu  gue ndi? mirip banget, terima kasih banyak sob!”. Ya, ucapan terima kasih dan pengakuan dari mereka, itu saja sudah cukup bagi saya.

Di hari ini, aku hanya ingin berkreasi. Sesuka hati moncoret-coret lembar putih ini, bebas menuangkan semua imajinasi, menghindarkan diri semua rutinitas dan kesibukan sehari-hari. Aku kembali memperhatikan buku sketsaku, “ada yang kurang…”

Aku menoleh keluar jendela, kulihat dua orang paruh baya sedang sibuk dengan urusannya, satu laki-laki, dan satu perempuan. Yang laki-laki sedang sibuk mengaduk adonan pasir dan semen dengan cangkul yang tentu tidak ringan – ingin membangun sesuatu sepertinya, padahal tubuhnya sudah renta. Sedangkan yang perempuan sedang berusaha menggapai bambu yang dipasang melintang yang biasa digunakan untuk menggantung jemuran pakaian. Dengan tubuhnya yang pendek, tentu akan sangat sulit bagi dia untuk menggapainnya, terlebih lagi pakaian yang dia bawa jumlahnya banyak dan basah. Kuperhatikan wajah mereka, walaupun dari jauh, namun terlihat jelas tetesan keringat yang mengalir perlahan dari dahi mereka, tertahan sejenak di sela-sela kerut, sampai kemudian jatuh menyentuh tanah. Keduanya terlihat peluh dan sangat letih.

Aku bangun berdiri, menggapai sebuah handbag cinderamata dari acara wisuda yang sengaja aku gantung sebagai penghias dinding kamar lengkap dengan kalung liontin dan topi toganya. Handbag itu isinya penuh dengan kenangan-kenangan saat di kampus dulu – nametag-nametag kepanitiaan beserta kalungnya, KTM, benda-benda kecil pemberian teman, dan beberapa lembar foto kegiatan di kampus yang sengaja aku cetak. “Ah, ketemu!”

Kuambil selembar foto berukuran 10R dari dalam handbag tersebut, cukup lama aku perhatikan. Di dalam foto tersebut terpampang seorang pemuda berwajah cukup ramah, mengenakan sebuah jubah hitam panjang dan topi segi empat dengan hiasan tali yang menjuntai di atasnya. Pemuda itu tersenyum dengan bangga, senyum yang sama persis dengan senyumku saat aku memandang foto tersebut. Sedangkan di kanan kirinya berdiri seorang laki-laki dan perempuan yang seolah-olah terlihat gugup karena disorot kamera, laki-laki dan perempuan yang sama dengan yang dilihatnya di luar jendela tadi.

 “Bapak dan Ibu, aku akan membuat sketsa mereka dengan menggunakan foto itu.”

Setiap detik aku perhatikan detail wajah mereka, ku goreskan pensil perlahan berusaha mengikuti lekuk dan paras wajahnya. Aku sejenak tersentak, kemudian terdiam, sangat malu. Selama ini aku tidak pernah sadar, terlalu banyak kerut di wajah mereka.

Aku menggores kerut mereka. Di balik kerut itu, aku melihat lelah, lelah yang sangat. Kerut di wajahnya itu memperlihatkan perjuangan yang dilaluinya. Kerutan di dahinya menunjukkan beban beban berat yang mereka pikul.

Aku menggores kerut mereka. Di balik kerut itu, aku melihat kesabaran, ketekunan, serta keuletan mereka yang selalu berusaha merawat dan membimbingku tanpa keluh kesah, walaupun di setiap perjalanan hidupnya keletihan dan kesakitan kerap kali menyerang mereka.

Aku menggores kerut mereka. Keras lekuk tulang rahang mereka, mengguratkan getir kehidupan. Aku melihat peluh yang selama ini berusaha disembunyikan dalam diam di balik senyum getir pada bibir mereka berdua.

Semakin lama aku menggores, semakin sesak dadaku dibuatnya

“Apa yang telah aku berikan kepada mereka selama hidup 22 tahun ini?" Kerut kerut wajah ketenangan, kesabaran, dan kecekalan mereka untuk membesarkan aku, semua tidak bisa digantikan. Ingin sesekali membuat mereka tersenyum. Ah, bahkan dalam bentuk sketsa pun aku tidak dapat membuat mereka tersenyum. Yang aku bisa hanyalah memperjelas kerut-kerut di dahi mereka.

Aku mencoba menghapus kerutan yang sudah terlanjur tergores dalam sketsaku, berharap tidak ada lagi kerut yang memperlihatkan peluh di wajah mereka, tidak ada lagi kerut yang menunjukkan beban di wajah mereka, atau kerut kerut lainnya yang tidak lain tidak bukan muncul karena aku. Yang ingin aku lihat hanyalah senyuman bahagia di bibir mereka. Ya, aku bisa melakukannya, tapi hanya dalam sketsa.

Di sketsa mereka tampak lebih muda, namun tidak pada keadaan yang sebenarnya.



9 comments: